Melihat dagelan politik setiap hari; memenuhi koran2 di meja kerjaku, memuncak di berbagai acara tallk show di televisi, menyahut di warung-warung kopi membuat aku bertanya-tanya: ini bangsa yang sinetron banget!!! Bukan berarti tayangan serial yang mengharu biru dan sesekali peran antagonis teriak dengan kata, "apaaaa?" Tetapi, lebih tepatnya drama komedi picik. Ya, setidaknya orang-orang komedian menghibur dan membuat geli karena tingkah lucu para pelaku-pelakunya. Kalau yang ini?!! Mhhmm, para pemainnya merasa pintar dan mampu "membodohi" penontonnya (katakan saja wong cilik). Ya, kita memang pernah dijajah selama ratusan tahun. Bukankah itu terkesan bodoh atau dibodoh-bodohi? Kondisinya sama seperti sekarang. Apakah oknum politikus yang bodoh atau rakyat yang bodoh?
Heu. Satu kata, di antara ribuan kepala. Rupiah. Siapa yang bakal munafik kalau mengejar tampuk kepemimpinan itu prioritasnya adalah uang. Uang. Uang. Namun, bukan ini masalahnya. Bangsa ini kehilangan esensi moralitas. Harga malu, pengabdian, dan kejujuran. Parah memang. Kebohongan yang sudah menjadi snow ball. Memuncak. Kebohongan yang struktural. Kebohongan yang satu ditutupi dengan kebohongan-kebohongan lain. Bukankah kita menjadi hidup dalam penuh kebohongan? Hidup dalam kebohongan berarti dunia maya bukan? Ini berarti bukan fakta? Bukan fakta berarti bukan kenyataan?! Nah, tahulah kita bahwa bangsa ini adalah bangsa yang hidup di dunia khayalan. Bangsa yang menjalankan aturan secara pura-pura. Karena angka-angka dan pasal-pasal hanyalah formalitas. Cari saja! Banyak kepalsuan publik!
Lucu juga. Sebagai kaum yang bernama intelek (ini juga dipertanyakan) aku sanksi akan kelanjutan generasi penerus bangsa ini. Mau seperti apakah mereka? Angkat bahu!
Ini bukan lagi bangsa yang berjudul "koruptor". Tetapi, lebih dari pada itu, sadarkah bahwa efeknya kemana-mana? Coba bayangin, tegakah uang hasil korupsi itu dikasih sama anak istri? Bagaimana pun, uang panas itu penggunaannya pun tak akan berkah. Pasti maunya pakai hura-huralah (bagaimana tidak, kan ketakutan juga bawa-bawa uang itu). Jadi, untuk menutupi ketakutan & kekhawatirannya pasti kalau tidak mabuk, main wanita, atau apalah yang buat senang. Masa sih abis korupsi mau ibadah?! Wong jiwanya aja tak tenang. Tuhan saja dicatut! Gimana mau disembah?
Nah, itu terkait uang. Karena mentalnya sudah jeblok nih (biasanya kalau sudah melabrak satu aturan suka melabrak aturan yang lainlah). Maklum, alah bisa karena biasa. Baru deh muncul pemikiran-pemikiran instan lainnya (ingat, orang koruptor itu pengen instan cari uang kan). Nah, pekerjaan dan lain-lainya pun pasti bakalan instan. Lihat saja, mentalitas pencatutan, plagiat, lokalisasi, hedonisme! Mana yang lebih kejam? Sistem penjajahan atau pemerintahan yang palsu? Sadarlah! Bangunlah! Jangan hidup dalam negeri dongeng! Penonton bakal kecewa.
Heu. Satu kata, di antara ribuan kepala. Rupiah. Siapa yang bakal munafik kalau mengejar tampuk kepemimpinan itu prioritasnya adalah uang. Uang. Uang. Namun, bukan ini masalahnya. Bangsa ini kehilangan esensi moralitas. Harga malu, pengabdian, dan kejujuran. Parah memang. Kebohongan yang sudah menjadi snow ball. Memuncak. Kebohongan yang struktural. Kebohongan yang satu ditutupi dengan kebohongan-kebohongan lain. Bukankah kita menjadi hidup dalam penuh kebohongan? Hidup dalam kebohongan berarti dunia maya bukan? Ini berarti bukan fakta? Bukan fakta berarti bukan kenyataan?! Nah, tahulah kita bahwa bangsa ini adalah bangsa yang hidup di dunia khayalan. Bangsa yang menjalankan aturan secara pura-pura. Karena angka-angka dan pasal-pasal hanyalah formalitas. Cari saja! Banyak kepalsuan publik!
Lucu juga. Sebagai kaum yang bernama intelek (ini juga dipertanyakan) aku sanksi akan kelanjutan generasi penerus bangsa ini. Mau seperti apakah mereka? Angkat bahu!
Ini bukan lagi bangsa yang berjudul "koruptor". Tetapi, lebih dari pada itu, sadarkah bahwa efeknya kemana-mana? Coba bayangin, tegakah uang hasil korupsi itu dikasih sama anak istri? Bagaimana pun, uang panas itu penggunaannya pun tak akan berkah. Pasti maunya pakai hura-huralah (bagaimana tidak, kan ketakutan juga bawa-bawa uang itu). Jadi, untuk menutupi ketakutan & kekhawatirannya pasti kalau tidak mabuk, main wanita, atau apalah yang buat senang. Masa sih abis korupsi mau ibadah?! Wong jiwanya aja tak tenang. Tuhan saja dicatut! Gimana mau disembah?
Nah, itu terkait uang. Karena mentalnya sudah jeblok nih (biasanya kalau sudah melabrak satu aturan suka melabrak aturan yang lainlah). Maklum, alah bisa karena biasa. Baru deh muncul pemikiran-pemikiran instan lainnya (ingat, orang koruptor itu pengen instan cari uang kan). Nah, pekerjaan dan lain-lainya pun pasti bakalan instan. Lihat saja, mentalitas pencatutan, plagiat, lokalisasi, hedonisme! Mana yang lebih kejam? Sistem penjajahan atau pemerintahan yang palsu? Sadarlah! Bangunlah! Jangan hidup dalam negeri dongeng! Penonton bakal kecewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar