Laman

Cari Blog Ini

Rabu, 27 April 2011

DISLEKSIA : Isu-isu dan Implikasinya bagi Bimbingan dan Konseling

Pengertian Disleksia
Kata disleksia diambil dari bahasa Yunani, dys yang berarti “sulit dalam …” dan lex (berasal dari legein, yang artinya berbicara). Jadi disleksia merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada anak tersebut dalam melakukan aktifitas membaca dan menulis. Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti karena ada masalah dengan penglihatan, tapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu (Ira Meida, 2007). Sumber: www.halalguide.info/content/view/720/70/

Menulis pada Anak Disleksia
Ketika belajar menulis, anak-anak disleksia melakukan hal-hal berikut.
1.      menuliskan huruf-huruf dengan urutan yang salah dalam sebuah kata;
2.      tidak menuliskan sejumlah huruf-huruf dalam kata-kata yang ingin ia tulis;
3.      menambahkan huruf-huruf pada kata yang ingin ia tulis;
4.      mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, sekalipun bunyi huruf-huruf tersebut tidak sama;
5.      menuliskan sederetan huruf yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan bunyi kata-kata yang ingin ia tuliskan;
6.      mengabaikan tanda-tanda baca yang terdapat dalam teks-teks yang sedang ia baca.

Hasil-Hasil Riset
1.      Rutter dan rekan telah menganalisis lebih dari 10.000 anak-anak di Selandia Baru yang diikutkan dalam uji membaca standar. Usia anak-anak itu berkisar antara 7-15 tahun. Disleksia ditemukan pada 18 hingga 22 persen murid lelaki. Sedangkan pada murid perempuan hanya sekitar 8-13 persen saja (Magdalena, 2003). Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2004/0716/kes1.html
2.      Disleksia ditandai dengan adanya dengan kesulitan membaca pada anak maupun orang dewasa yang seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih & akurat. Angka penderita disleksia pada anak usia sekolah sekitar 5 sampai 17 di dunia. Kurang lebih 80 persen gangguan belajar mengalami disleksia (Rini Sekartini, 2007). Sumber: http://www.halalguide.info/content/view/720/70/
3.      Pada pemeriksaan terhadap anak-anak Jerman dengan kesulitan membaca dan menulis serius, tim ilmuwan menemukan gen tertentu, yang diperkirakan berkontribusi terhadap masalah yang dihadapi anak-anak tersebut. Bagairnana gen tersebut berkontribusi? Hasilnya, belum jelas.
Diperkirakan gen tersebut mempengaruhi migrasi sel saraf di otak. Hasil temuan itu akan dipublikasikan dalam American Journal of Human Genetics edisi Januari 2006. Gen tersebut diindikasikan ilmuwan dari Amerika Serikat dan Inggris terletak di daerah koromosom 6. Tetapi kelompok peneliti Jerman dan Swedia telah mengidentiflkasikan suatu gen tunggal di daerah tersebut, yang ditemukan di antara anak-anak Jerman, yang merupakan faktor penting penyebab disleksia. Gen tunggal tersebut, menurut tim, dikenal sebagai gen DCDC2. Perubahan dalam gen DCDC2 sering kali diternukan di antara penderita disleksia. Perubahan gen kebanyakan ditemukan pada anak-anak yang memiliki masalah membaca dan menulis. Gen tersebut nampak memicu hubungan kuat dengan proses informasi berbicara saat menulis (Irfan Arief, 2007). Sumber: Sumber:
http://www.pjnhk.go.id/content/view/370/32/
4.      Ferrei & Winwright (1984; Le Fanu, 2006) berpendapat bahwa permasalahan gangguan dalam belajar disebabkan oleh adanya ketidakcocokkan antara sphenoid dan tulang rawan pada otak. Ketidakcocokkan ini diduga berpengaruh terhadap cara kerja syaraf-syaraf yang mempengaruhi kerja otot-otot mata. Tetapi ternyata mereka tidak berhasil menemukan perbedaan apapun.
5.      Pada tahun 1980 Irlen (Le Fanu, 2006) menemukan bahwa orang-orang disleksia mengalami gangguan serius pada indera penglihatan yang menyebabkan matanya mengalami kesulitan ketika harus menyesuaikan cahaya dari sumber-sumber tertentu, dengan tingkat kekontrasan tertentu. Kemampuan untuk menyesuaikan variasi-variasi cahaya disebut sebagai scotopic adaptation. Tetapi, hipotesisi Irlen ini tidak mempunyai memiliki basis riset yang kuat dan terpercaya.
6.      Alfred Tomatis & Guy Berard (Le Fanu, 2006) mencoba mengungkap riset melalui auditory processing problems atau membedakan antara bagian-bagian kalimat yang terucap dengan suara-suara lain yang menjadi latar belakang dari dialog ketika kalimat-kalimat tersebut diucapkan. Hasilnya, tidak ada teori yang mendukung maupun yang menolaknya.
7.      Jean Ayres (1972; Le Fanu, 2006) menegaskan bahwa disleksia disebabkan oleh adanya gangguan pada system vestibular. Vestibular merupakan bagian dalam telinga menjadi alat detektor posisi kepala terhadap gravitasi bumi dan menstransmisikan informasi ini ke dalam otak. Kemudian vestibular ini dikaitkan dengan indera penglihatan dan menyatakan bahwa gangguan dalam membaca disebabkan oleh lemahnya ‘integrasi sensorik’.
8.      Palatajko (1985; Le Fanu, 2006) membuktikan bahwa gangguan dalam membaca dan gangguan vestibular merupakan dua keadaan yang terpisah dan tidak memiliki keterkaitan satu sama lain.
9.      Sedangkan Levinson (Le Fanu, 2006) menegaskan adanya korelasi antara fungsi vestibular, cerebellum dan disleksia. Kemudian peneliti lain mengkritik tajam karena penelitian yang ia lakukan tidaklah memadai dan terlalu bias.
10.  Glenn Doman (1960; Le Fanu 2006) berpendapat bahwa gangguan-gangguan dalam belajar terjadi karena seorang anak dalam perkembangan fungsi gerak pada organ tubuhnya tidak berada dalam urutan yang normal. Gangguan yang berkaitan dengan hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan otak dan sistem saraf dan selanjutnya menyebabkan gangguan dalam membaca. Tidak ada riset lain yang menunjang teori ini bahkan mendapat kritikan tajam dalam jurnal-jurnal kesehatan.
11.  Tidak satu pun teori-teori alternatif yang berusaha menjelaskan penyebab disleksia ini didukung oleh bukti-bukti ilmiah, tetapi teori-teori ini tetap beredar dengan bebas (Le Fanu, 2006:75).

Faktor Penyebab
Faktor penyebab disleksia disinyalir melalui:
1.      Faktor keturunan
2.      Memiliki masalah pendengaran sejak usia dini
3.      Faktor kombinasi kedua faktor di atas

Ada dua faktor lingkungan lingkungan yang telah dikaji pengaruhnya terhadap gangguan belajar pada anak, yaitu timbal dan cahaya udara. Bagaimana dengan lingkungan sekolah? Para peneliti telah mempelajari tiga faktor secara khusus, yaitu: ruangan kelas yang terbuka, pencahayaan dan kualitas udara. Sekalipun demikian, sampai saat ini belum ada riset yang memiliki bukti kuat yang membenarkan faktor pencahayaan atau pemasangan generator ion di dalam kelas benar-benar bisa mempengaruhi prestasi belajar siswa (Le Fanu, 2006).

Sebuah Pengalaman Mengintervensi Penderita Disleksia
Dalam prakteknya, Le Fanu (2006: 93-95) melakukan serangkaian tahapan sebagai berikut.
1.      mengumpulkan data mengenai intelegensi dan kepribadian;
2.      mengelaborasi lebih jauh pertanyaan-pertanyaan seputar kemungkinan bahwa anak pernah mengalami keterlambatan-keterlambatan perkembangan ketika masih kanak-kanak yang mana hal ini akan berpengaruh terhadap prestasi sekolah sang anak;
3.      menguji kemampuan membaca anak untuk mengetahui pada tingkat berapa sebenarnya ia berada;
4.      memberikan tes matematika tertulis. Jika permasalahannya pada membaca soal, tidak terhadap materi dan isi soal matematika itu, berarti ia mengalami gangguan dalam membaca;
5.      melihat catatan dan laporan dari pihak sekolah. Ketika setiap mata pelajaran yang melibatkan kemampuan membaca secara individu, bukan lagi membaca dalam sebuah kelompok atau lainnya, penderita disleksia mulai mengalami kesulitan menyelesaikan pekerjaannya;
6.      menemukan kemungkinan riwayat keluarga si anak. Bisa jadi ada kaitannya dengan faktor keturunan;
7.      mengetahui lebih jauh mengenai kapasitas anak dalam memberikan perhatian kepada aktivitas-aktivitas yang ia senangi, seperti hobi seni, kerajinan tangan, dan game.
Pemberian Bantuan
Cara yang paling sederhana dan efektif untuk membantu anak-anak yang mengalami gangguan disleksia adalah dengan memberikan pelajaran membaca dengan menggunakan metode phonic. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gittelman & Feingold (1983; Le Fanu, 2006). Gittelman & Feingold memberikan kesimpulan sebagai berikut.
1.      Intervensi terhadap pelajaran membaca dalam bentuk phonic benar-benar terbukti membantu anak-anak yang memiliki masalah dengan membaca.
2.      Empat bulan bukanlah waktu yang terlalu panjang untuk menangani permasalahan membaca yang mereka kerjakan secara tuntas.
3.      Kemajuan terjadi pada akhir perlakuan.
4.      Tes-tes yang dimaksudkan untuk mengetahui jenis-jenis tertentu dari permasalahan membaca tidaklah diperlukan. 

Cara yang Dilakukan oleh Orang Tua
Orang tua dapat melakukan program phonic di rumah dengan cara-cara sebagai berikut.
1.      cobalah membuat jadwal harian untuk membiasakannya membaca.
2.      istirahatlah barang sejenak apabila anak Anda terlihat kelelahan, lapar atau mulai jenuh.
3.      jangan memberikan pelajaran terlalu lama dan banyak ketika baru pertama kali melakukannya.
4.      buatlah target-target yang ingin dicapai.
5.      beri reward & punishment pada anak setiap melakukan kemajuan dan kesalahan.
6.      buat kesan pada kata-kata yang ada dalam cerita ketika dibacakan, anak tidak berarti harus mengulang kata.
7.      mulailah dengan membaca beberapa halaman atau paragraf pertama dari sebuah cerita dengan suara keras agar anak Anda terpancing untuk menyimak.
8.      buatlah aktivitas-aktivitas yang variatif dengan memberikan beberapa sesi untuk mengerjakan permainan-permainan huruf di samping aktivitas membaca.
9.      jadikan sesi ini sebagai pengganti sesi membaca denga suara keras di hadapan anak Anda.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, pendekatan yang paling baik adalah dengan menggunakan guru kelas regular untuk anak-anak tersebut. Namun, apabila masih kesulitan, guru tersebut bisa dibantu oleh seorang spesialis, yang akan memberikan pelajaran membaca berikut penjelasan phonic.

Intervensi Ahli (Konselor & Psikolog)
Konselor atau psikolog bisa memberikan terapi apabila anak disleksia mengalami hal-hal berikut ini.
1.      Stress karena takut belajar membaca
2.      Permasalahan membaca pada anak tersebut memancing terjadinya konflik dalam sebuah keluarga, atau apabila sang anak merasa terisolir dari lingkungan pergaulannya dikarenakan permasalahan membaca yang mereka alami.

  Referensi 
James Le Fanu. (2006). Deteksi Dini Masalah-Masalah Psikologi Anak dan Proses Terapinya. Jogjakarta: Think.

Tidak ada komentar: