Ketika menginjak masa-masa kuliah, mungkin kita menjadi orang yang paling idealis... menciptakan imajinasi tentang bagaimana lapangan kerja siap menerima kita... dapat bekerja di tempat yang sesuai keinginan (dekat rumah atau di kota besar), gaji besar, prestige tinggi, dan mudah naik jabatan... inilah harapan besar setiap orang
Pada kenyataannya, tuntutan dunia luar lebih gencar. Kompetitor-kompetitor pun berdatangan. Ratusan ribu pelamar memasuki situs-situs online pencari kerja, terkadang lebih diutamakan fresh graduate. Ada juga yang mencari pengalaman di atas 1-2 tahun. Belum lagi ukuran fisik, tinggi badanlah, berat badanlah. Tidak sedikit yang mempertimbangkan bahasa Inggris dan kemampuan berkomputer ria. Kalau kita kalah saing, siap-siaplah untuk tidak menerima panggilan.
Beragam orang bekerja, dari mulai institusi pemerintahan, usaha sendiri, dan swasta. Tiap-tiap orang hampir tidak dapat diprediksi apa yang menjadi latar belakang pendidikan dan dalam bidang apa kerjanya. Kapasitas kerja pun tidak lagi melihat ukuran pendidikan, bahkan untuk bidang-bidang tertentu sarjana sudah bukan menjadi prioritas utama lagi. Hanya yang mempunyai kemampuan lebih ++++ lah yang masuk sebagai nominasi.
Ini bukan sesuatu yang mesti diherankan. Ini adalah fenomena yang diterima di saat ini. Dunia kerja semakin mengglobal, namun tuntutannya pun semakin besar. Tetapi 1 hal dari semuanya, hanya ada kata kesempatan. Kesempatan itu ada bagi setiap orang, terutama pada orang yang siap.
Saya terkesan pada sebuah perjalanan ketika bertemu dengan seorang ibu muda di kereta malam...
ada seorang ibu muda yang melakukan perjalanan dari Jawa Tengah ke Jakarta. Beliau baru diterima di sebuah perusahaan BUMN pada usianya yang ke-31 tahun, karena usianya sudah melampaui prasyarat PNS, maka beliau dipekerjakan sebagai kontrak. Saya salut dengan kesabaran beliau meninggalkan sang buah hatinya yang berusia 3 thn bersama suaminya, beliau pulang seminggu sekali, dengan perjalanan yang lumayan jauh.
Inilah dunia kerja. Terkadang, seorang ibu harus terpisah sementara dengan anaknya. Terkadang, seorang istri harus terpisah sementara dengan suaminya. Bahkan bibiku yang suaminya kerja sebagai TKI harus rela ditinggal selama setahun sekali, kadang juga 2 tahun sekali.
Saya pun menyadari, bahwa lahan kehidupan yang bernama mata pencaharian itu tak ada yang muluk. Semuanya diatur sedemikian rupa. Sehingga jangan heran kalau setiap akhir pekan banyak kereta api dipadati penumpang yang sedang mudik, mudik untuk menjemput kembali sebagian hidupnya yang terpisah setelah seminggu bekerja penuh. Tidak mengherankan kalau di kota besar seperti jakarta diliputi oleh orang-orang yang berasal dari kota berbeda-beda, bahkan pulau luar. Jadi, untuk siapa kita kerja? seperti apa pekerjaan yang cocok bagi kita? semua mengikuti pilihannya, dan pilihan itu selalu mengandung konsekuensi....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar