Nol besar
Nol besar kalau mau jadi orang sukses malas belajar. Setidaknya inilah kata-kata yang bisa mewakili orang-orang yang merasa punya posisi, merasa bisa, & merasa punya banyak pengalaman. Setiap orang punya seni yang berbeda dalam menyikapi pembelajaran. Mungkin bagi sebagian orang, belajar dari ilmu pengetahuan umum adalah cukup. Tidak apa-apa jika hidup mau dilewati begitu saja. Bagi sebagian orang lagi, membaca adalah sebagai kewajiban, it's ok. Atau ada orang yang senang membuktikan dengan praktek sehingga menjadikan pembelajarannya sempurna. Sebenarnya, pola belajar itu luas, tidak seluas buku-buku atau pengalaman. Terkadang, mungkin kita menyalahartikan tentang seorang pembelajar yang sejati. Misalnya, seorang yang berpikir analitis, tetapi tidak rajin membaca buku dikatakan sebagai orang yang tidak sedang belajar, ini sempit. Contoh lain, seorang yang besar di lapangan, dianggap hanya sebagai pekerja keras, padahal mungkin saja dia juga lebih banyak bekerja cerdas.
Contoh kasusnya adalah saya pernah merasa sangat bingung tentang karakter orang yang bekerja di pertambangan. Katanya sebuah nomor bisa menjangkau berbagai area, bahkan sekalipun abroad. Ketika saya susah menghubungi orang itu, saya berpikiran lain-lain. Tetapi, ketika saya menemui orang yang bekerja di pertambangan juga secara tidak sengaja, akhirnya saya memahami bahwa jaringan telepon tidak selalu ada sinyal di tiap area, sekalipun itu nomor iklannya bagus. Ternyata kita tidak bisa memungkiri kendala alam. Saya pun banyak sharing tentang pertambangan. Akhirnya saya memahami sebuah situasi yang saya risaukan sebelumnya. Hanya dari seorang yang tidak kukenal.
Ini baru tentang pembelajaran. Saya selalu percaya bahwa seorang pembelajar selalu melihat pengalaman sebagai guru yang terbaik. Kebijakan sejati didapat dari experience learning. Ini memang tidak berlaku bagi semua orang. Ada sebagian besar orang yang mudah mencerna dari sebuah nasihat, latihan, atau informasi. Tetapi, ada orang-orang tertentu merasa sangat belajar dari pengalaman hidup. Pembelajaran sebenarnya sangat luas, dan tak harus diperdebatkan. Tapi, ini akan sangat berarti bagi orang yang mau belajar, belajar dari setiap orang.. bukan belajar dari orang baik saja, karena ini sudah menjadi figuritas. Orang jahat bisa saja belajar dari kejahatannya. Makanya, janganlah melihat orang secara emosional, lihatlah dari cara berpikir dia, apakah polanya bagus atau tidak. Inilah yang dinamakan sebagai angka 1 dari pembelajaran, karena kita sudah menjadikan orang lain sebagai bahan untuk belajar. Ini sedikit mengingatkan kita bahwa kita adalah makhluk sosial.
Not me, but us
Saya belajar dari hal kecil. Ketika saya duduk bersama di suatu meja makan, saya merasakan bosan dengan berbagai macam makanan. Dalam pikiran saya hanya terlintas, "makan apa yang enak ya?" Setelah beberapa lama saya memesan makanan, saya lupa memikirkan teman yang di depan saya. Saya pun dengan enaknya nyeletuk, "bosan ya makanannya biasa saja...". Nah, apa yang dia jawab, "kalau aku sedang berpikir, makan apa biar uangku cukup untuk bekal hari ini... ". Iya, ya. Saya mulai berbalik pikir. Akhirnya saya memesan dari satu porsi yang lebih mahal, menjadi dua porsi yang lebih murah. Ketika makanan datang, saya tidak merasa bosan lagi. Saya menikmati bagaimana harus berbagi. Yang tadinya bingung mau makan apa, menjadi enak bisa berbagi makanan. Walaupun makanannya murah, setidaknya ada yang bisa kunikmati saat itu.
Ilustrasi di atas menggambarkan betapa saya lupa akan orang-orang di sekitar saya. Kepuasan yang dinikmati ternyata ada batasnya. Ketika kita bebas memilih makanan yang kita suka, ternyata semakin berkuranglah selera & gairah akan makan. Namun, ketika kita kekurangan, mungkin akan membayangkan satu makanan saja dari yang mahal. Bersyukurlah saya bisa belajar hemat & membuat orang di sekiatar saya tersenyum.
Mungkin masih banyak hal lainnya yang terlupakan. Misalnya, ketika saya menikmati kopi di bengawan solo atau starbuck yang harganya melambung. Saya yang biasa minum kopi mungkin akan merasakan hal yang biasa dari segelas kopi. Sehingga walau kopi mewah pun yang harganya belasan ribu rupiah sama saja. Tetapi, ketika saya sadari membeli dua gelas kopi yang harganya seribuan, lalu saya bagi ke teman 1 gelas, rasanya senang sekali. Ternyata kenikmatan bukan sekedar dari segelas kopi lagi, tetapi dari bagaimana cara kita menikmati kopinya.
Atau ketika saya berjalan sendirian di mall, saya melihat orang-orang duduk di tempat-tempat makan yang nyaman. Apalagi mall sekarang dibuat konsepnya seperti tematik. Ada rumah makan yang punya area buat mainan anak, ada rumah makan yang latarnya dibuat seperti ciri khas asal mulanya, bahkan ada juga rumah makan yang menghadirkan pelayan bak zaman kerajaan seperti di magnum. Yang ada, bagiku hanya kedinginan berlama-lama diam di mall. Lalu saya bayangkan ketika enaknya makan bakso yang lima ribuan saja_enaknya masih terasa di lidah. Jelas terasa sekali bagaimana hidup itu adalah cara menikmati. Saya bukan berarti menolak makanan yang enak-enak, tetapi saya mau menerima bahwa semua yang terjadi sesuai pikiran saya. Saya berpikir untuk menikmati menjadi orang kaya. Bukan kekayaan yang nampak dari luar saja. Banyak juga kok orang kaya yang bahagia. Saya percaya bisa menjadi kaya, tetapi bisa juga menjadi orang yang paling dermawan serta berjiwa sosial.
Little thinking
Ini lebih berbicara tentang bagaimana berperilaku sosial, lebih tepatnya dalam bersikap. Ada banyak orang percaya bahwa bisa mengkombinasikan antara hubungan pribadi, sosial, dan bisnis. Ini sah-sah saja. Buktinya, orang sekarang nepotisme bukan dari kalangan keluarga saja, tetapi dari kalangan sahabat juga (walaupun di sini saya tidak jelaskan data hasil penelitiannya, karena bukan peneliti juga). Seorang yang bijak, bukan terlihat dari bagaimana dia menjaga otoritas & wibawanya, tetapi dari bagaimana dia bisa menempatkan diri dalam berbagai situasi. Misalnya, seorang direktris, bisa saja otoriter di kantor, tetapi jangan dihadapi suami. Atau, seorang anak yang manja terhadap orang tua bukan berarti bisa membawa kemanjaannya sampai kantor. Dia boleh saja memanggil papinya dengan rengekan, "aaahh,, pappiii...". Tetapi tidak boleh disamakan dengan perannya sebagai sekretaris terhadap bos.
Ada banyak orang yang tercipta perannya sebagai pemimpin guys! Tetapi sedikit di antara follower (pengikut) yang mengakui kepemimpinannya. Ini hanya terjadi jika sang pemimpin berpikir sempit. Kembali lagi dari hal-hal kecil, seorang pemimpin ketika sudah besar posisinya, dia lupa mentransfer ilmu kepemimpinannya. Dia hanya menunjukkan sikap ngebosnya saja, seperti banyak duduk santai, tidak mau berbagi dalam menghadapi masalah, dan enggan untuk kembali ke pengalaman di mana ia memulai dari nol. Wajar saja sih jika seorang pemimpin sudah menikmati segalanya. Namun jangan lupa, keenakan-keenakan itulah yang membuatnya lupa tentang bagaimana cara menyiasati bawahannya yang terlibat dalam masalah.
Kasus lain yang hampir serupa adalah, kita mungkin sering mudah mendapatkan sesuatu, tetapi lupa bagaimana cara mempertahankannya. Sehingga bersiap-siaplah untuk sering kehilangan. Terkadang dengan pikiran sempit kita, sesuatu yang sudah didapat dibiarkan pun tak apa-apa. Padahal, apapun yang kita miliki adalah titipan gusy. Lengah sedikit saja ia akan tergores atau lenyap. Berpikirlah untuk membangun dan mendayagunakan semua hal yang dimiliki. Apalagi itu orang, bukan hanya barang. Barang seperti mutiara mungkin masih utuh kalau pun tidak dipelihara. Namun, orang-orang terdekat kita akan mengalami pengaruh dari berbagai sumber, bahkan bisa jadi berbalik melawan atau mengacaukan kita. Jadi, jika kita punya pacar, teman, atau staf_pahami keinginannya. Buat mereka berkembang seperti kita, jangan hanya melulu berpikir saya harus ngapain ya, tetapi pikirkan juga apa yang sebaiknya dilakukan orang lain!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar