Inspirasi datang bersama angin dan debur ombak. Saat itu, suatu hari di tahun 1961, Sedijatmo sedang piknik bersama keluarga di Pantai Cilincing, Jakarta Utara. Ketika itu, secara tak sengaja, pandangannya menancap ke batang pohon nyiur yang meliuk dan melambai tertiup angin. Muncul pertanyaan di benak Direktur Dinas Perencanaan dan Pembangunan - Perusahaan Listrik Negara (PLN) ini. “Mengapa nyiur bisa berdiri kokoh di tanah lunak meski tertiup angin dan deburan ombak?” Padahal, tubuhnya yang menjulang hanya ditopang akar serabut yang tak terlalu dalam.
Kebetulan, Datmo, begitu nama panggilan insinyur itu, tengah memimpin projek besar pembangunan tiang listrik tegangan tinggi di daerah Ancol, kawasan pantai bertanah rawa yang lembek. Lapisan tanah keras di sana bisa mencapai kedalaman 25 meter.
Inspirasi pohon nyiur itu mendorong Datmo, yang ketika itu berusia 52 tahun, membuat rancangan fondasi yang cocok untuk tanah tak stabil seperti daerah rawa. Jadilah fondasi “berserabut” pipa beton yang menyangga kontruksi tower listrik tegangan tinggi. Dengan cara konvensional,tower itu mestinya dibangun dengan fondasi bertiang pancang panjang yang menancap dalam sampai ke lapisan tanah keras.
Secara fisik, bentuk fondasi ala Sedijatmo ini mirip dengan fondasi tiang pancang. Sebuah pelat beton menjadi landasan berdirinya tower. Di bawah pelat yang tebalnya 10-12 sentimeter itu mencuat pipa-pipa beton dengan diameter 50 sentimeter yang satu sama lain berjarak 1-1,5 meter. Hanya saja, pipa ini tak harus memanjang seperti tiang pancang yang mencapai lapisan tanah keras.
Kaki-kaki itu menggantung hanya 3,5 meter panjangnya. Meski tak sampai mencengkeram tanah keras, kaki-kaki “cakar ayam” itu sudah cukup kuat sebagai stabilisator konstruksi yang sanggup menahan tekanan dari atas dan samping. Karena bentuknya mirip kaki ayam, jadilah fondasi ini dinamakan “Fondasi Cakar Ayam”.
Meski secara fisik mirip, cara kerja Fondasi Cakar Ayam berbeda dengan jenis fondasi konvensional. Fondasi ini sangat mengandalkan tekanan pasif tanah dan gaya lateral yang diterima pelat. Itu sebabnya, kedalaman fondasi ini tidak perlu menembus tanah keras. Bandingkan dengan fondasi tiang pancang pada umumnya yang mengandalkan daya dukung tanah keras untuk kekuatannya. Dibandingkan dengan fondasi friction pile pun, Fondasi Cakar Ayam masih lebih efisien, karena tak harus dilengkapi kaki-kaki panjang.
Sukses pemancangan Fondasi Cakar Ayam di Ancol itu kemudian diikuti keberhasilan tower-tower lain. Pemakaiannya meluas, tidak terbatas pada konstruksi menara. Bandara Juanda Surabaya dan Bandara Polonia Medan juga memanfaatkan kuatnya cengkeraman cakar-cakar beton temuan pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 24 Oktober 1909 ini. Hasil pengujian di Polonia menunjukkan bahwa Fondasi Cakar Ayam mampu mereduksi hingga 75% tekanan pada tanah di bawah landasan pacu. Konstruksi cakar ayam ini telah menunjukkan keandalannya, bahkan setelah diuji puluhan tahun.
Yang paling monumental, ya Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng. Dari 1.800 hektare (18 km persegi) pengerasan lahan di sana, 120 hektare diantaranya memanfaatkan teknologi cakar ayam. Pemakaiannya mulai dari apron (tempat parkir pesawat terbang), taxi way, hingga landasan pacu di bandara yang tata bangunannya mendapat penghargaan arsitektur lansekap Aga Khan pada 1995 itu.
Fondasi Cakar Ayam mencatat sejumlah kelebihan dibandingkan fondasi jenis lain. Karena fondasi ini letaknya tidak berada jauh dari permukaan tanah, pengerjaannya jauh lebih sederhana ketimbang jika harus memancang atau mengebor tanah.Biaya yang dihemat bisa sampai 30%, karena pengerjaannya lebih cepat dan material yang diperlukan lebih sedikit.
Fondasi Cakar Ayam temuan Sedijatmo telah memperoleh paten dari berbagai negara. Selain Indonesia, fondasi ini juga mendapat paten dari Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Italia, Belgia, Belanda, Denmark dan Jerman. Fondasi Cakar Ayam, sebagai sebuah teknik, telah membuktikan mampu memberikan solusi pada zamannya.
Fondasi Cakar Ayam bukan satu-satunya temuan Sedijatmo. Ayah lima anak ini juga pemegang paten pipa pesat dan penemu pompa air curug. Bahkan pada 1971, ketika usianya 62 tahun, alumnus Technische Hoge School (THS) --sekarang ITB—ini masih berkarya. Ketika itu, ia memperkenalkan teknik “Bahari Ontoseno”, sebuah sistem pembuatan jembatan di sungai yang lebar seperti di daerah Kalimantan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar