Suatu hari, entah kapan saatnya; kita pasti akan, sedang, atau pernah mengalami sesuatu yang namanya dilema. Aku sebut saja dilema_karena, terkadang sesuatu itu bukan hanya masalah yang seakan terasa berat. Tetapi, bisa saja kegalauan, kebingungan, kepenasaran, penantian yang menjengkelkan, jawaban yang merisaukan, atau pun malah mungkin sesuatu yang tak jelas ujungnya atau istilah Melly Goeslow "gantung". Ya, di balik teka-teki kehidupan ini akan selalu ada batas (dimana jangkauan manusia pintar pun kalah).
Itulah barangkali gambaran interaksi, yang kita sederhanakan dengan nama kehidupan. Ya, karena terkadang hidup bukan bagaimana mencapai kesenangan dan kebahagiaan saja, tetapi bagaimana kita dapat puas setelah memecahkan berbagai dilemanya. Ini memang wajar, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang serba ingin tahu. Rasa kepenasarannya tinggi, bahkan kebutuhan yang kadang disederhanakan hanya makan itu merupakan kebutuhan paling dasar. Sebenarnya, kebutuhan tertinggi manusia ternyata eksistensinya, yaitu ingin tampil, dihargai, dan muncul di sosialita. Namun, ini juga tidak berlaku sama bagi setiap orang tentunya. Karena, pada kenyataannya ada orang untuk makan pun susah. Namun, pastinya setiap orang ingin dihargai. Jelasnya, kebutuhan itu akan tumpang tindih, dengan kata lain, kita butuh kebutuhan dasar seperti makan, minum, keamanan, cinta, pergaulan, dan kita juga ingin dihargai. Ya, pengemis pun bisa marah kalau kita hina. Intinya, hidup ini adalah serangkaian kebutuhan yang tak akan berujung puasnya.
Lalu, apa sih kebutuhan yang dilematik? Mmh, berat rasanya jika saya akan membahas kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Yang namanya manusia, sejak Adam dan Hawa dilahirkan, pasti sepaket dengan hatinya. Hati itulah yang setiap orang punya, dijadikan senjata untuk berabad-abad kehidupan. Dengan hati, setiap orang mampu terjalin, menyatukan berbagai macam perbedaan, dan mengembangkan sayap-sayap kemanusiaan. Ironisnya, dengan adanya hati pula, banyak kejahatan terjadi.
Film ini hendak menggambarkan, bagaimana bahwa perasaan itu adalah paket pemberian Tuhan yang memang keberwarnaannya ada. Seiring dengan harmonisasi alam, seperti mentari, pelangi, hijau dedaunan, dan lembayung senja adalah ajaran Tuhan, betapa merasa itu memang ditakdirkan secara alami ada. Lantas, apakah perasaan itu benar-benar jahat seperti yang kisahkan dalam film di atas? Bingung memang menjawabnya. Kembali kepada esensi penciptaan manusia, bahwa Tuhan ingin agar kita pandai mengatur perasaan. Mengapa ada marah? Mengapa ada benci? Mengapa ada dendam? Tuhan punya maksud agar manusia pandai menempatkannya. Marah dibutuhkan pada saat sesuatu kejahatan terjadi. Benci dibutuhkan untuk sesuatu yang Tuhan langgar. Dendam? Apakah kita perlu dendam? Saya sendiri belum pernah menemukan konteks dendam yang dibenarkan.
Uniknya, dari setiap perasaan itu bisa bercampur, ada yang dominan, atau bahkan kekurangan seperti ada orang yang mengatakan, "saya mati rasa...". Really? Adakah mati rasa? Kompleks sekali perasaan ini. Entahlah. Kita akan membahas apa yang namanya cinta.
Nah, bagaimana dengan perasaan cinta?
Cinta itu layaknya perekat jaman. Ia ada mengantarkan manusia dari jaman ke jaman. Setiap orang membutuhkan cinta. Namun, apakah cinta kita hanya kepada Tuhan? Ternyata, manusia masih harus banyak belajar karena cintanya terbagi antara teman, sahabat, keluarga, orang tua, dan pasangan hidupnya. Eros (penamaan cinta oleh salah seorang tokoh psikologi) menggambarkan hubungan perasaan yang kompleks dan sangat berwarna. Jika dendam identik dengan kejahatan, atau benci selalu diidentikkan dengan perasaan yang buruk_maka cinta selalu mempunyai diantaranya. Kita butuh membenci orang yang akan merebut kekasih kita. Kita dendam karena diselingkuhi. Ini perasaan yang wajar. Karena cinta biasanya sepaket; mungkin itulah yang menjadikannya sebagai perasaan yang istimewa. Dengan kata lain, jangan punya perasaan cinta kalau takut membenci!
Cinta akan menjadi dilema, apabila seandainya kita mencintai orang yang mungkin dibenci oleh teman kita, atau orang tua mungkin tidak setuju, atau mungkin pula dia tidak meyakini atau bahkan tidak mengenali Tuhan yang kita anut (beda agama). Sebagian besar orang memilih cintanya senada dengan lingkungan sosialnya. Tidak sedkit yang rela memilih cinta sebagai kekasih hatinya daripada keluarga atau Tuhannya. Di sinilah konflik mulai muncul. Perasaan pun terkadang menjadi sesuatu yang hablur. Apa yang kita sebut cinta tidak hanya perasaan yang rumit, namun akan menjadi dilema besar. Bahkan ini akan menjadi PR kehidupan selamanya yang tak terselesaikan.
Itulah barangkali gambaran interaksi, yang kita sederhanakan dengan nama kehidupan. Ya, karena terkadang hidup bukan bagaimana mencapai kesenangan dan kebahagiaan saja, tetapi bagaimana kita dapat puas setelah memecahkan berbagai dilemanya. Ini memang wajar, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang serba ingin tahu. Rasa kepenasarannya tinggi, bahkan kebutuhan yang kadang disederhanakan hanya makan itu merupakan kebutuhan paling dasar. Sebenarnya, kebutuhan tertinggi manusia ternyata eksistensinya, yaitu ingin tampil, dihargai, dan muncul di sosialita. Namun, ini juga tidak berlaku sama bagi setiap orang tentunya. Karena, pada kenyataannya ada orang untuk makan pun susah. Namun, pastinya setiap orang ingin dihargai. Jelasnya, kebutuhan itu akan tumpang tindih, dengan kata lain, kita butuh kebutuhan dasar seperti makan, minum, keamanan, cinta, pergaulan, dan kita juga ingin dihargai. Ya, pengemis pun bisa marah kalau kita hina. Intinya, hidup ini adalah serangkaian kebutuhan yang tak akan berujung puasnya.
Lalu, apa sih kebutuhan yang dilematik? Mmh, berat rasanya jika saya akan membahas kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Yang namanya manusia, sejak Adam dan Hawa dilahirkan, pasti sepaket dengan hatinya. Hati itulah yang setiap orang punya, dijadikan senjata untuk berabad-abad kehidupan. Dengan hati, setiap orang mampu terjalin, menyatukan berbagai macam perbedaan, dan mengembangkan sayap-sayap kemanusiaan. Ironisnya, dengan adanya hati pula, banyak kejahatan terjadi.
Dkisahkan dalam sebuah film, dimana diprediksi akan terjadi perang dunia ke-3. Peperangan dan pembantaian terjadi dimana-mana. Lalu, sebuah penemuan teknologi tertinggi, menemukan cairan sejenis vaksin untuk membunuh sesuatu yang disebut dengan kejahatan, yaitu kemampuan untuk merasa. Ya, bagi sekelompok ilmuwan itu, yang akhirnya menjadi sebuah bangsa yang mengakui bahwa akar dari masalah peperangan yang terjadi adalah kemampuan untuk merasa. Rasalah sumber dari kemarahan, dendam, dan bahkan peperangan. Lalu, sekelompok bangsa itu sepakat untuk membuat vaksinnya yang disebut dengan EC10. Vaksin ini disuntikkan ke leher setiap pagi, dan bahkan ketika merasakan suatu perasaan. Alhasil, warna-warna yang disinyalir dapat memperparah kemampuan untuk merasa itu dihapuskan. Segala tempat dan penjuru pun menjadi hitam dan putih. Nyanyian, musik, dan alunan angin dihiraukan. Semua penduduk pada bangsa itu pun seperti layaknya mayat hidup. Bergerak seperti robot. Namun, apa yang terjadi selanjutnya? Pembunuhan pun terjadi ketika ada yang dinamakannya permberontak "yang masih merasa dan tidak mau menggunakan vaksin itu". Pemberontak itu pun ditumpasnya satu persatu. Apakah yang lain tega? Tentu tidak, karena kemampuan untuk merasanya hilang. Ironis bukan? Menghindari peperangan dengan pembunuhan sama dengan bohong.[equilibrium]
Film ini hendak menggambarkan, bagaimana bahwa perasaan itu adalah paket pemberian Tuhan yang memang keberwarnaannya ada. Seiring dengan harmonisasi alam, seperti mentari, pelangi, hijau dedaunan, dan lembayung senja adalah ajaran Tuhan, betapa merasa itu memang ditakdirkan secara alami ada. Lantas, apakah perasaan itu benar-benar jahat seperti yang kisahkan dalam film di atas? Bingung memang menjawabnya. Kembali kepada esensi penciptaan manusia, bahwa Tuhan ingin agar kita pandai mengatur perasaan. Mengapa ada marah? Mengapa ada benci? Mengapa ada dendam? Tuhan punya maksud agar manusia pandai menempatkannya. Marah dibutuhkan pada saat sesuatu kejahatan terjadi. Benci dibutuhkan untuk sesuatu yang Tuhan langgar. Dendam? Apakah kita perlu dendam? Saya sendiri belum pernah menemukan konteks dendam yang dibenarkan.
Uniknya, dari setiap perasaan itu bisa bercampur, ada yang dominan, atau bahkan kekurangan seperti ada orang yang mengatakan, "saya mati rasa...". Really? Adakah mati rasa? Kompleks sekali perasaan ini. Entahlah. Kita akan membahas apa yang namanya cinta.
Nah, bagaimana dengan perasaan cinta?
Cinta itu layaknya perekat jaman. Ia ada mengantarkan manusia dari jaman ke jaman. Setiap orang membutuhkan cinta. Namun, apakah cinta kita hanya kepada Tuhan? Ternyata, manusia masih harus banyak belajar karena cintanya terbagi antara teman, sahabat, keluarga, orang tua, dan pasangan hidupnya. Eros (penamaan cinta oleh salah seorang tokoh psikologi) menggambarkan hubungan perasaan yang kompleks dan sangat berwarna. Jika dendam identik dengan kejahatan, atau benci selalu diidentikkan dengan perasaan yang buruk_maka cinta selalu mempunyai diantaranya. Kita butuh membenci orang yang akan merebut kekasih kita. Kita dendam karena diselingkuhi. Ini perasaan yang wajar. Karena cinta biasanya sepaket; mungkin itulah yang menjadikannya sebagai perasaan yang istimewa. Dengan kata lain, jangan punya perasaan cinta kalau takut membenci!
Cinta akan menjadi dilema, apabila seandainya kita mencintai orang yang mungkin dibenci oleh teman kita, atau orang tua mungkin tidak setuju, atau mungkin pula dia tidak meyakini atau bahkan tidak mengenali Tuhan yang kita anut (beda agama). Sebagian besar orang memilih cintanya senada dengan lingkungan sosialnya. Tidak sedkit yang rela memilih cinta sebagai kekasih hatinya daripada keluarga atau Tuhannya. Di sinilah konflik mulai muncul. Perasaan pun terkadang menjadi sesuatu yang hablur. Apa yang kita sebut cinta tidak hanya perasaan yang rumit, namun akan menjadi dilema besar. Bahkan ini akan menjadi PR kehidupan selamanya yang tak terselesaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar