Entah itu adalah suatu perwujudan dari kepedulianku atau ke-egoisanku. Aku merasa semuanya telah berpaling. Pada hal-hal yang menurutku tak lebih penting dari apa yang sedang diperjuangkan bersama. Aku pun mulai merenung dan berfikir akan hal ini. Tapi aku malah menemukan ke-egoisan yang amat mendalam saat itu. Ke-egoisanku mulai membisikkan sugesti yang membuatku menutup mata akan segala penjelasan yang dilontarkan. Hingga aku merasa bahwa “akulah yang paling benar”. Bahkan ketika kututup telinga, mata, dan mulut untuk sekadar mendengar, melihat dan berargumen, kehilangan itu semakin mengejar. Sekali lagi. Aku buta, tuli, bisu. Egoisku kambuh pada kehilangan ini.
,,,,,,,,,
Aku pun tersadar dari tidur panjangku. Ketika seseorang yang memperhatikan kekuranganku mengajakku untuk membicarakan hal ini dengannya. Dengan fikiran yang bening dan tutur katanya yang wibawa, ia pun berkata, “Semua orang itu punya pilihan juga berhak memilih, dan kita harus menghargai pilihan mereka. Kita tak bisa memaksakan kehendak kita pada orang itu. Kehendak yang memang tidak rasional untuk selalu berada di sampingmu. Setiap orang punya kepentingan, dan mungkin kau bukanlah salah satu yang berada pada puncaknya”. Seseorang itu tersenyum. Tulus. Diriku masih berontak dari apa yang dikatakannya. Banyak argumen dan pertentangan yang aku lontarkan padanya. Sampai pada akhir, aku kalah. Argumennya terlalu kuat dan berikanku sedikit tekanan untuk duduk. Pelan-pelan ia seolah menuntunku berdiri. Tertatih. Dan seakan aku langsung benar-benar dalam posisi berlari! berlari dari kehilangan itu.”Tetapkan pada hatimu, bahwa kau tak pernah sendiri..” gumamnya pelan...
Seketika itu pula aku menyadari bahwa hidup di dunia ini bukanlah untuk memaksakan kehendak, karena memang aku tidak hidup sendirian. Banyak pelajaran yang aku ambil dari semua hal yang terjadi. Hingga perlahan tembok ke-egoisan itu memudar digantikan oleh selaput kepedulian yang kini tengah ku jalin lembut. Sulit memang, namun untuk menjadi seseorang yang dimengerti oleh orang lain. Maka harus mencoba untuk mengerti orang lain terlebih dulu. Aku pun bergegas menuju tempat dimana kehilangan itu aku pelihara. Tempat yang harus ku singkirkan ketika akan menemukan sesuatu yang kusebut kepedulian itu. Harus. Karena kini aku tak merasa sendiri lagi. Masih banyak orang yang mau peduli padaku, dan berjuang bersamaku. Egoisku luntur.. Aku pun merasa bahwa iniliah yang kucari! Yang telah kutemukan dalam indahnya sebuah pengertian. Dalam indahnya kepedulian. Dan yang pasti bukan ke-egois-an. Ku tutup pelan-pelan buku harian dari tempat dimana aku telah bermalam belakangan ini. Yang menjadi saksi kunci bahwa ku pernah menjadi agak gila karena suatu kata. Yang juga menjadi nyata bahwa ku telah temukan benderang dan harap. Ah, kehilangan itu yang amat menyiksaku. Membuat ku mengerti apa arti sebuah tawa yang dulu pernah kuanggap hilang. Apa arti sebuah teman yang dulu pernah ku anggap hilang. Dan yang terpenting, apa arti sebuah kata cinta yang dulu pernah kuanggap hilang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar